Sukses Bisnis Budidaya Belut Bersama Ardiyan Taufik
Budidaya belut tidak memerlukan lahan yang besar dan luas
bahkan bisa dibudidayakan dalam tong yang di belah dua memanjang. Dalam artikel
sukses bisnis budidaya belut bersama Ardiyan Taufik, kita akan diajak flashback
awal memulai wirausaha budidaya belut sdr. Ardiyan 3 tahun lalu. Tahukah sobat seberapa besar peluang budidaya belut? Tahukah
berapa harganya per kilogram di pasaran? Pangsa pasar lokal dan bahkan terbuka
untuk pasar ekspor. Kemana? Misalnya yang ready menampung adalah Singapura dan
Malaysia.
Mengandalkan belut tangkapan dari alam untuk dipasarkan
kembali ternyata sudah bukan sesuatu yang mudah lagi. Pasokan yang didapat
dengan cara tersebut lama kelamaan semakin menipis. Berangkat dari kenyataan
tersebutlah Ardiyan Taufik, pria dari kota Solo yang telah bergelut dalam
bisnis ekspor belut semenjak 6 tahun yang lalu, akhirnya mulai merintis
budidaya belut. Ia banyak berhubungan dengan para pengepul di berbagai daerah
di Tanah Air untuk kemudian dikumpulkan dan dijual ke luar negeri.
Bisnis budidaya belut sendiri dimulai sekitar 6 tahun yang
lalu (awal tahun 2006).Berdasarkan pengalaman bisnis budidayanya, menurut
Ardiyan budidaya belut terbilang tidak sulit. Pebisnis yang ingin serius
menekuni budidaya belut hanya dituntut untuk intens dalam hal perawatan dan
pemberian pakan. Sementara dalam pemberian pakan pun, kata Ardian, pakan belut
termasuk simpel. Pakan belut itu tidak berhubungan dengan pabrik.
“Pakannya
bisa keong mas atau bekicot. Jadi tidak tergantung pada pakan hasil pabrik,”
ujar Ardiyan. Berdasarkan hitung-hitungan biaya operasional, biaya pakan
tersebut menurut Ardiyan hanya menggunakan 15%-20% dari biaya operasional. Jauh
lebih kecil jika dibandingkan dengan komoditas perikanan lain yang biaya
pakannya menelan hingga 60% dari biaya operasional.
Hanya saja menurut Ardiyan, banyak peternak pemula yang
belum mengetahui seluk beluk membudidayakan komoditas yang satu ini. Biasanya
para pemula akan bersemangat hanya sekitar 1 hingga 5 minggu di awal bisnis
budidayanya. Selanjutnya mereka mengira bahwa usaha tidak berhasil karena tidak
melihat tanda-tanda kehidupan ternak di siang hari. Padahal belut memang tidak
aktif seperti produk perikanan lainnya. “Belut ini hewan malam, dan nyaris
tidak kelihatan, tidak seperti ikan,” ujar Ardiyan.
Berminat budidaya belut, pada dasarnya modal menurut Ardiyan
bukanlah yang utama. Jika calon pebisnis memiliki kolam semen, atau bahkan jika
tidak ada bisa menggunakan kolam terpal, atau bahkan tong bekas. Sementara untuk bibitnya calon
pebisnis bisa memulai dengan berusaha mendapatkan bibit dari sawah. Bibit belut
bisa lebih mudah didapatkan di sekitar pertanian organik. Jika tidak bisa
didapat dengan cara gratis, sambung Ardiyan, bibit belut sawah bisa didapat dengan
harga sekitar Rp25.000/kg.
Jika dibudidayakan secara intens, bibit belut berukuran
sebesar rokok akan membutuhkan waktu sekitar 3 hingga 6 bulan untuk bisa
dipanen untuk kemudian dipasarkan. Pilihannya ada pada pebisnis sendiri. Jika
ingin dipasarkan secara lokal, biasanya waktu 3, 4 atau 5 bulan cukup untuk
budidaya. Sementara untuk pasar ekspor biasanya akan memakan waktu 6 bulan.
Bicara harga jual juga menarik. Dari hasil panen, Ardiyan
bisa mematok harga sekilo belut isi 10 seharga Rp15.000 untuk pasar lokal,
bahkan bisa mencapai Rp18.000 di end user. Sementara untuk pasar ekspor
biasanya sekilo isi 10 dengan harga Rp20.000.
Tentang pasar ekspor belut sendiri, Ardiyan juga lebih tahu.
“Coba saja lihat Singapura dan Malaysia, mereka darimana mendapatkan belut, kan
tidak ada sawah,” ilustrasi Ardiyan. Jadi jika pun ada pihak-pihak yang pesimis
dengan tidak adanya pasar ekspor bagi hasil budidaya belut Tanah Air,
menurutnya harus dibuktikan sendiri. Hanya saja pebisnis yang benar-benar
menekuni budidaya sekaligus pemasaran seperti Ardiyan, tentu saja tak bisa
hanya mengandalkan modal dan ketekunan saja.
“Siapa saja bisa berjualan, tapi
tentu saja untuk menembus tempat yang dituju Kita harus mengembangkan relasi,”
tutur Ardiyan.