Sebuah Kisah Potongan Sisa Singkong Dan Anak Yatim
Segala amal kebaikan bila dilakukan dengan ikhlas akan
mendapat ganjaran kebaikan berlipat-lipat. Sebuah sedekah yang mungkin nilainya
tidak berarti bagi kita mungkin akan sangat berarti bagi orang lain. Misalnya
saja dibawah ini ada sebuah kisah potongan sisa singkong dan anak yatim yang
berasal dari kisah nyata seorang pedagang singkong di sebuah Sekolah Dasar di
Jakarta Selatan. Kisah ini dimuat Harian Republika. Sebuah kisah bagaimana
dahsyatnya sebuah hasil dari amal baik. Trus apa hubungannya sisa potongan
singkong dengan amal baik tersebut? Silahkan baca kisah lengkapnya.
Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ...
Di Cipete Jakarta Selatan.
Di sebuah sekolah dasar di sana, seorang pria penjual gorengan bernama Udin
(bukan nama asli) berjualan.
Lonceng turun main, kira-kira akan berbunyi sepuluh menit
lagi. Ia tengah memotong beberapa singkong untuk digoreng. Singkong seperti
kita tahu, berbentuk tabung dan berkerucut pada ujungnya.
Biasanya sebuah singkong akan dipotong lima bagian. 4 bagian
digoreng untuk dijual, sementara bagian ujung atau pentilnya disisihkan untuk
dibuang.
Hari itu, Udin menggoreng kira-kira 5 buah singkong, dan
pentil singkong yang tersisa pun berjumlah 5 karenanya.
Lonceng istirahat berbunyi, para siswa pun berhamburan ke
luar kelas untuk jajan dan istirahat. Seorang anak kurus sambil menggigit jari
berdiri di ujung gerobak Udin. Anak ini tidak membeli gorengan seperti siswa
lainnya, juga tidak berbicara sepatah katapun.
Naluri Udin berkata bahwa anak ini tidak punya uang untuk
jajan. Hati kecil menyuruhnya agar 5 pentil singkong yang ada diberikan saja
kepada anak itu. Maka diambillah beberapa pentil itu. Ia masukkan ke dalam
adonan tepung, kemudian digorenglah. Setelah matang, Udin menaruhnya di atas
kertas lalu disodorkannya kepada anak itu.
Si anak senang bukan main. Senyumnya mengembang. Udin turut
bahagia melihatnya. Belakangan, Udin tahu bahwa anak tersebut adalah seorang
yatim yang baru saja kehilangan bapak.
Kejadian pagi itu terus berulang. Udin memberikan beberapa
pentil singkongnya kepada anak yatim itu.
Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun hingga
anak itu lulus dari Sekolah Dasar. Udin tidak merasa berat, sebab apa yang ia
berikan kepada anak yatim itu, tiada lain adalah barang yang tiada berharga
bagi siapapun. Dalam pengalamannya berjualan, tidak ada seorang pun yang
mencari pentil singkong untuk dibeli. Bahkan bila dijual sekalipun dalam jumlah
banyak, pastilah tidak akan laku.
Udin tak berkeberatan memberikan pentil singkongnya kepada
anak itu. Bahkan untuk setiap hari!
Allah Swt akan membalas kebaikan seorang hamba bila ia
membantu saudaranya bahkan hingga 700 kali lipat!
Lebih dari 30 tahun berselang setelah anak yatim itu lulus.
Saat itu, Udin masih mengerjakan rutinitasnya setiap hari; yaitu berjualan
gorengan di sekolah dasar yang sama. Maka berhentilah sebuah mobil mewah nan
mengkilap tepat di depan gerobak Udin.
Seorang pemuda tampan turun dari mobil. Ia mengenakan
setelan dan dasi yang bermerk. Rambutnya di sisir rapi dan mengkilat ditimpa
sinar matahari.
Melihat calon pembeli dengan mobil bagus, Udin sigap membuka
pembicaraan, “Mau beli gorengan, Den…?!” Pemuda itu tersenyum dan berkata,
“Masa akang lupa sama saya?” Pertanyaan itu membuat Udin berpikir singkat,
namun ia tidak menemukan jawaban.
Udin lalu bertanya polos, “Memangnya…, Aden ini siapa ya?”
Masih tersenyum, pemuda itu mengatakan, “Saya ini adalah anak pentil singkong,
Kang!” Mendengar itu, Udin berucap tasbih. Rasa gembira terbit di hatinya
melihat kesuksesan anak ini. Anak pentil singkong yang dulu kerap berdiri di
pinggir gerobaknya.
“Masya Allah…. sudah sukses sekarang ya, Den?!” Udin
bertanya sekali lagi. “Alhamdulillah, Kang!” jawab si Aden.
Udin lalu menggamit lengan si Aden, diajaknya masuk ke balik
gerobak. Udin menyorongkan sebuah kursi kecil untuk duduk. Maka duduklah pemuda
itu, sementara Udin meneruskan pekerjaannya…. menggoreng singkong, tempe dan
lain-lain.
Sambil Udin bekerja, pembicaraan mengenai kenangan lama
terulang kembali. Keduanya merajut rasa syukur kepada Allah Swt Yang telah
melimpahkan anugerah tiada terkira. Pembicaraan tersebut terus berlanjut hingga
berujung pada sebuah kalimat yang diucapkan sang pemuda.
“Akang… saya ke sini mau berterima kasih!” kata si pemuda.
“Atas apa, Den?!” jawab Udin. “Berterima kasih atas kebaikan kang Udin kepada
saya. Dulu kalau gak dikasih pentil singkong sama Akang, saya gak bakal bisa
belajar dengan tenang. Kalau belajar gak tenang, saya gak bakal pintar. Kalau
gak pintar, saya gak bakal bisa lulus sekolah dan sukses seperti sekarang….
saya ke sini mau berterima kasih ke kang Udin!”.
Kalimat yang baru diucapkan oleh pemuda begitu tersusun dan
membanggakan hati Udin. Namun Udin masih berkelit sambil berujar, “Den… sudah
gak usah dipikirkan. Apa yang saya kasih ke Aden berupa pentil singkong itu kan
gak berharga! Ngapain pake terima kasih segala. Lagian, kalo saya jual gak
bakal ada yang mau…!” Udin mencoba merendah dan menolak pamrih.
Pemuda masih mengejar dengan satu pertanyaan lagi, dan ini
membuat Udin menjadi bergidik. “Akang…, saya dan istri berniat haji tahun ini.
Saya ingin Kang Udin dan istri mau menemani kami. Mau kan, Kang?”
Gemuruh rasa terjadi di dada Udin. Tidak pernah terbayang
baginya akan ada seorang hamba Allah yang mengajaknya untuk menunaikan rukun
Islam kelima. Udin pun mengiyakan, dan pemuda itu pun pergi meninggalkan Udin.
Udin dan istrinya berangkat haji. Seluruh biaya dan uang
jajan keduanya ditanggung oleh si pemuda. Barangkali lebih dari Rp 60 juta yang
dibayarkan olehnya. Udin dan istri lalu berangkat ke Baitullah, menunaikan
semua ritual dan kewajiban dalam ibadah haji. Hingga ia dan istri kembali ke
tanah air lagi dengan selamat.
Sesampainya di tanah air, banyak kerabat, saudara dan
tetangga datang bersilaturahmi. Udin membagikan oleh-oleh berupa air zamzam,
kurma dan banyak lagi.
Banyak orang senang menerima hadiah tersebut. Mereka pun
banyak menanyakan pengalaman Udin dan istri selama berhaji.
Udin menjawab semua pertanyaan orang yang datang sebisanya.
Hingga saat ada seseorang yang bertanya tentang bagaimana caranya kang Udin
dapat berhaji bersama istri padahal usahanya hanya sekedar menjual gorengan.
Rupanya… banyak yang belum tahu dengan cara apa Udin
berangkat haji. Dan memang, ia merahasiakan hal itu selama ini. Udin pun
menjawab seadanya, “Dulu…, saya sedekah pentil singkong kepada seorang anak
yatim, eh gak taunya dengan sedekah itu saya dan istri berangkat haji. Kalo
tahu begini, coba dulu saya sedekah singkong beneran sama tuh anak…!”
Udin mencoba berkelakar dengan jawabannya, dan hal itu
membuat hadirin tertawa terbahak mendengarnya. Dalam hati, Udin bersyukur
kepada Allah Swt Yang Sungguh menepati janji kepada dirinya.
Sungguh Allah Swt Maha Kuasa untuk membalas amal seorang
hamba, bahkan hingga 700 kali lipat atau lebih dari itu.
Tulisan dari Bobby Herwibowo (Dewan Pengawas Syariah Dompet
Dhuafa Republika)