Hikmah Dibalik Kisah Pecel Lele Untuk Istri
Kisah Pecel Lele Untuk Istri - Sebuah rasa kasih sayang antara suami dan istri sebenarnya
banyak diungkapkan lewat sikap dan perbuatan dibandingkan dengan kata-kata.
Berbeda jauh dengan masa pacaran apalagi pacaran jaman sekarang. Kasih sayang
kebanyakan diungkapkan lewat berjuta-juta kata-kata sayang dan cinta yang
membusa dan hiperbola. Ada sebuah hikmah di balik Kisah Pecel Lele untuk Istri
di bawah ini. Sebuah kisah sederhana yang mungkin biasa saja di mata pembaca yang mungkin belum menikah tapi ini adalah sebuah fragmen kecil yang memiliki makna yang dalam. Dimana kasih
sayang tidak dapat didengar tapi hanya dapat dirasakan dan diberikan. Bagi anda yang sudah menikah dan menyayangi anak dan istri anda pasti akan merasakan hal ini dan memahaminya.
Sebenarnya Kisah ini saya kutip dari buku. ”Bahagianya
Merayakan Cinta” karya Salim A Fillah. Mari kita simak sejenak kisahnya di
bawah ini.
"Suatu hari ada seorang lelaki, yang ikut antri di warung
pecel lele didaerah Monjali. Mendung bergantung sore itu, dan warna hitam yang
menyeruak d ibarat mulai bergerak mendekat. Dia, berkaos putih yang leherannya
mulai geripis, dikepalanya ada pecis putih yang kecil, dan celananya beberapa
senti diatas mata kaki. Sandal jepit swallow yang talinya hampir putus nyangkut
diantara jempol dan jari kakinya. Seperti yang lain ia juga memesan,
”Pecel Lele, Mas!”
”Berapa?” Tanya Mas penjual yang asyik menguleg sambal
terasi sambil sesekali meraih sothil besar untuk membalik gorengan lele di
wajan raksasa. Gemuruh bunyi kompor mengharuskan orang berbicara sedikit lebih
keras.
”Satu. Dibungkus..”
Perlahan tangannya merogoh saku celana, lalu duduk sembari
menghitung uangnya. Malu malu, tangannya dijorokkan sedikit ke bawah meja. Uang
pecahan ratusan sudah disatukan dengan selotip bening per sepuluhan keping, pas
jumlahnya sesuai harga.
”Nggak makan sini aja Mas? Takut keburu hujan ya?”
”Hihi, buat Istri”
”Oo..”
Selesai perjalanan dibungkus, bersamaan dengan bunyi keritik
yang mulai menggambar titik-titik basah di tenda terpal milik Mas Pecel Lele.
Agak berlari ia keluar, tetapi melebatnya sang hujan jauh lebih cepat dari
tapak-tapak kecilnya. Khawatir pecel lele untuk istri tercinta yang hanya
dibungkus kertas akan berkuah, ia selipkan masuk ke perutnya. Bungkusan itu ia
rengkuh erat dengan tangan kanan, tersembunyi dibalik kaos putih yang mulai
transparan disapu air. Tangan kirinya keatas, mencoba melindungi kepalanya dari
terpaan ganas hujan yang tercurah memukul-mukul. Saat itu ia sadar, ia ambil
pecisnya. Ia pakai juga untuk melapisi bungkusan pecel lele.
Huff, lumayan aman sekarang. Tetapi 3 kilometer bukanlah
jarak yang dekat untuk berjalan ditengah hujan, bukan?
-------
Sahabat, apa perasaan anda ketika membaca kisah lelaki ini?
Kasihan. Iba. Miris. Sedih.
Itu kan anda! Coba tanyakan pada laki-laki itu, kalau anda
bertemu. Oh, sungguh berbeda. Betapa berbunga hatinya. Dadanya dipenuhi
heroisme sebagai suami yang baru yang penuh perjuangan untuk membelikan
penyambung hayat istri tercinta. Jiwanya dipenuhi getaran kebanggaan, keharuan,
dan kegembiraan. Kebahagiaan seolah tak terbatas, menyelam begitu dalam di kebeningan
matanya. Ia membayangkan senyum yang menantinya, bagai bayangan surga yang
terus terhidupkan di rumah petak kontrakannya.
Ditengah cipratan air dari mobil dan bus kota yang
bersicepat, juga sendalnya yang putus lalu hilang ditelan lumpur becek, ia akan
tersenyum. Senyum termanis yang disaksikan jagad. Seingatnya, ia belum pernah
tersenyum semanis itu saat masih membujang. Subhanallah...
Sahabat, Begitulah, karena ada konsep barokah, kita tidak
diperkenankan mengukur badan orang dengan baju kita sendiri. Pada pemandangan
yang tak tertembus oleh penilaian subjektif kita itu, daripada berkomentar yang
sifatnya ”iri tanda tak mampu” akan jauh lebih baik kita memuji Tuhan atas
kebesaran-Nya. Mudah-mudahan Tuhan meluaskan barakah itu hingga kitapun merasakannya.